DIA ATAU AKU
Aku sering menghabiskan waktu di tempat yang penuh ketenangan ini tatkala perasaanku sedang kacau. Dan benar saja, saat ini aku tengah dilanda perasaan acak yang tak karuan. Perasaan marah, sedih, kecewa, bercampur jadi satu.
Aku masih bisa mengingat dengan jelas episode hidup yang baru saja kualami semalam. Semuanya masih tergambar dengan jelas, bahkan rasa sakitnya pun masih terasa hingga tanpa kusadari air mataku telah mengalir entah sejak kapan.
Semalam aku dan Ryan memutuskan untuk mengakhiri hubungan setelah menjalin asmara selama hampir dua tahun. Waktu yang cukup lama untuk bisa saling menyelami hati di antara kami. Tapi ternyata waktu dua tahun itu tidak bisa membuatku meluluhkan hatinya. Dan selama itu pula aku tidak pernah benar-benar memiliki hatinya.
Sejak awal aku memang sudah tahu kalau aku tidak pernah ada dalam hati Ryan. Aku hanya tahu kalau di hatinya hanya ada Sarah, gadis cantik yang pernah memiliki hatinya.
Meskipun hubungan Ryan dan Sarah telah lama berakhir tapi aku tahu Ryan belum mampu melupakan Sarah. Dan aku yakin sampai detik ini Ryan juga belum mampu melupakannya.
Aku mengagumi Ryan sejak dulu. Tapi aku sadar kalau aku tak mungkin bisa mendapatkannya. Hatinya telah dimiliki oleh Sarah. Jadi kuputuskan untuk menjadi pengagum rahasia saja, meskipun sakit tapi itulah resikonya menyukai seseorang yang telah menjadi milik orang lain.
Aku selalu mengamati Ryan. Aku suka melihat senyumnya. Bagiku itu adalah senyum termanis yang pernah kulihat. Aku selalu berharap agar bisa mendapatkan senyumnya. Pernah suatu hari ia tersenyum kepadaku. Manis sekali. Bahkan senyum Daniel Radcliff pun masih kalah jauh dengan senyumnya.
Byurr…
Deburan ombak membuyarkan lamunanku. Aku lupa sudah berapa lama aku ada di sini hingga tanpa kusadari matahari semakin condong ke barat pertanda malam akan segera tiba. Jadi kuputuskan untuk segera meninggalkan tempat ini.
Aku memulai aktivitasku sebagai mahasiswi seperti biasanya. Aku tak mau terlalu larut dalam kesedihan. Meskipun berat namun aku akan berusaha untuk melupakan Ryan, pemuda paling kucintai sekaligus paling kubenci.
Aku berharap hari ini aku tidak akan bertemu Ryan di kampus, sengaja ataupun tidak. Namun harapanku sia-sia. Begitu aku hendak menginjak anak tangga pertama, tiba-tiba ia muncul menuruni tangga. Aku cukup terkejut, tapi aku berusaha menyembunyikan keterkejutanku itu.
Untuk beberapa detik lamanya mataku terpaut pada matanya. Lalu dengan sigap kualihkan pandanganku darinya. Ada perasaan enggan untuk menyapanya. Lagipula untuk apa aku menyapanya toh ia juga tidak pernah peduli padaku. Jadi aku segera menaiki anak tangga berikutnya agar aku bisa segera meninggalkannya.
“Aira!” Kata Ryan sambil menarik tanganku dan tentu saja tindakannya itu membuatku nyaris jatuh.
“Ada apa lagi? Belum puas kau menyakitiku? Tidak cukup kau mempermainkanku? Atau kau masih ingin menjadikanku pelampiasan cintamu?” Kuberondong dia dengan pertanyaan bertubi-tubi hingga ia tak bisa berkata-kata. Aku merasa suaraku bergetar menahan marah dan air mata yang sebentar lagi akan tumpah.
“Maaf.” Hanya itu kata yang terlontar dari mulutnya.
Ryan pun meninggalkanku sendiri dan aku hanya bisa menangis menatap kepergiannya. Kakiku terasa lemas hingga aku jatuh terduduk di anak tangga. Beberapa orang melintas di sampingku seraya memandangku. Tapi aku tak peduli dengan semua mata yang memandangku. Aku hanya ingin sendiri. Lalu aku segera bergegas menuju suatu tempat.
Angin laut menerpa wajahku. Panas. Namun tidak sepanas hatiku. Hatiku yang sudah sejuk kembali panas setelah aku melihat Ryan. Ini adalah hari kedua sejak aku dan Ryan mengakhiri hubungan cinta kami. Cinta kami? Ah bisakah itu disebut cinta kami? Atau cintaku saja? batinku.
Aku ingat ketika Ryan dan Sarah akhirnya mengakhiri hubungan cinta mereka. Mungkin Sarah juga merasakan apa yang tengah kurasakan atau justru tidak merasakannya sama sekali. Waktu itu yang aku lihat justru Ryan lah yang begitu terpukul. Hampir sebulan aku tidak pernah melihat senyum manis yang biasa selalu tersungging di bibirnya.
Jujur saja aku merasa sakit melihat keadaan Ryan yang seperti itu. Aku pun berusaha menyembuhkan luka hati Ryan semampuku. Tapi aku tak memiliki maksud tertentu. Aku tidak begitu jahat sehingga aku akan memanfaatkan momentum ini untuk mencuri hati Ryan.
Ketika itu aku melihat Ryan tengah duduk sendiri di bangku taman sekolah. Tak banyak orang yang mau duduk di bangku itu. Mungkin karena ada anggapan bahwa bangku itu hanya diduduki oleh orang yang sedang galau.
Entah kekuatan apa yang mendorongku mendekat pada Ryan. Selama ini aku tidak punya keberanian yang cukup bahkan hanya untuk berdiri di sampingnya. Kuamati wajahnya. Raut wajahnya menampakkan kesedihan yang sangat dalam.
“Sampai kapan kau akan terus larut dalam kesedihan?” Tanyaku hati-hati.
“Dia sangat berarti bagiku. Bagiku dia adalah nyawa hidupku.” Kata Ryan. Kata-kata itu membuatku lumayan sesak.
“Ayolah tak perlu larut dalam kesedihan seperti ini. Masih banyak orang yang lebih sakit daripada kau, tapi mereka tetap bangkit.” Aku tidak yakin kalimatku ini akan cukup memotivasi Ryan.
Dia terdiam cukup lama setelah mendengarkan kata-kataku. Lalu akhirnya ia berkata, “Kau benar. Aku tidak perlu terlalu larut dalam kesedihan. Itu hanya akan menambah beban hatiku.”
Senang rasanya aku bisa kembali melihat senyum manis Ryan yang sempat raib entah ke mana. Sejak saat itu kami berteman baik. Hingga suatu hari aku dikejutkan dengan pernyataannya.
“Aira, selama ini aku telah merepotkanmu.” Kata Ryan.
“Oh tidak masalah, aku hanya berusaha menjadi teman yang baik.” Kataku.
“Hm… Aira maukah kau menjadi kekasihku?” Kata-kata Ryan sontak membuatku terkejut.
Karena aku telah menyukai Ryan sejak lama maka tanpa pikir panjang aku pun menerimanya. Namun beberapa bulan kemudian aku baru menyadari kalau ternyata dia tidak benar-benar mencintaiku. Ia bahkan tidak pernah mengatakan cinta padaku.
Aku tidak tahu mengapa ia memintaku untuk jadi kekasihnya. Aku tahu di hati Ryan hanya ada Sarah, tak ada Aira. Tapi apa peduliku, semuanya telah terjadi. Dalam masa-masa itu aku berusaha menaklukkan hati Ryan secara perlahan meskipun aku tahu usahaku akan sia-sia.
Dalam kurun waktu hampir dua tahun kisah cintaku dengannya, tak jarang aku makan hati. Ia selalu menyebut nama Sarah di depanku, entah dia sadar atau tidak. Bahkan dia juga sering memanggilku dengan nama Sarah.
“Aira dan Sarah apa bedanya?” Hanya itu yang dia ucapkan jika aku sedikit keberatan.
Selama hampir dua tahun itu pula ia selalu membandingkan aku dengan Sarah. Aku tahu Sarah adalah sosok gadis anggun dan lemah lembut, sangat berbeda 180 derajat dariku. Tapi aku juga tahu bahwa aku tak bisa selamanya menjadi Sarah, aku tak pernah jadi diriku sendiri. Ryan selalu memintaku agar berpenampilan seperti Sarah. Menurutnya wajahku agak mirip dengan Sarah, hanya wataknya saja yang berbeda. Nama pun hampir sama.
Aku selalu menuruti apa yang diinginkan Ryan. Tak peduli aku sakit atau tidak aku akan selalu menyenangkan hatinya karena bagiku kebahagiaan Ryan adalah kebahagiaanku juga.
Perlahan aku mulai jenuh dan kesal dengan semua kelakuan Ryan. Aku mulai berpikir kalau ia hanya ingin mempermainkanku. Mungkin aku begitu bodoh karena telah menerima dia sebagai kekasihku padahal dengan jelas aku tahu kalau dia tidak pernah mencintaiku. Dia hanya mencintai Sarah.
Puncak kekesalanku muncul ketika kami sedang makan malam di salah satu kafe tempat biasa kami bertemu. Seperti biasa dia kembali memanggilku dengan nama Sarah. Awalnya aku masih bisa bersabar tapi ketika dia memanggilku lagi dengan nama itu, kesabaranku sudah habis.
Dengan sekali gerakan aku pun menggebrak meja di hadapanku. Aku bisa bisa melihat rona keterkejutan di wajah Ryan, begitupun orang-orang yang ada di sekitar kami.
“Aira! Apa yang kau lakukan?” Tanya Ryan. Masih ada sisa keterkejutan di wajahnya.
“Aku sedang menggebrak meja. Apa kau tidak melihatnya? Oh iya aku lupa, aku lupa bahwa kau memang tidak pernah melihat apa yang aku lakukan. Kau hanya melihat Sarah. Yang ada dalam pikiranmu hanya Sarah, Sarah dan Sarah. Apa kau tidak pernah peduli bagaimana perasaanku?” Cecarku.
Air mata sudah membasahi pipiku. Aku terdiam mengambil napas. Kulihat tangan Ryan yang hendak menghapus air mataku. Aku segera menampik tangannya.
“Maafkan aku, Aira. Aku sungguh tidak berniat menyakitimu. Aku akui aku memang masih mencintai Sarah, tapi…”
“Jika memang kau masih mencintai Sarah, kenapa kau menjadikanku kekasihmu? Apa kau ingin mempermainkanku? Apa salahku? Atau kau hanya menjadikanku sebagai pelampiasan? Iya kan?” Tanyaku seraya mengguncang tubuhnya yang jangkung.
Kulihat Ryan seolah hendak mengatakan sesuatu, tetapi aku tak ingin mendengar apa-apa lagi darinya.
“Selama ini aku selalu bersabar dengan segala kelakuanmu itu. Aku bahkan berharap agar bisa menggantikan posisi Sarah di hatimu, walau aku tahu itu tidak akan bisa. Aku hanya ingin mencintaimu sebagai Aira bukan Sarah. Tidakkah kau berpikir mengapa aku ingin melakukan semuanya? Itu karena aku mencintaimu. Tapi jika memang tak ada tempat di hatimu untukku, maka aku akan pergi dari kehidupanmu. Mulai hari ini aku bukan kekasihmu lagi. Jika nanti kita bertemu entah di mana, anggap saja kita tidak pernah kenal.” Kataku panjang lebar.
“Baik kalau itu maumu. Pergilah!” Kata Ryan. Ada nada yang sulit kumengerti tatkala ia mengucapkan kata itu.
Aku segera berlari ke luar kafe. Tak kuhiraukan beberapa pasang mata yang tadi menonton pertengkaran kami. Ah bukan, ini bukan pertengkaran, ini tak lebih dari sekedar ungkapan hatiku.
Matahari semakin condong ke barat. Cukup lama juga aku di sini. Mengenang masa-masa dengan Ryan. Tak ada yang begitu istimewa. Tak ada kenangan indah apalagi romantis. Tidak perlu terlalu bersedih toh mungkin Ryan juga tidak peduli.
Baru saja aku hendak beranjak pergi ketika kudengar suara berat seseorang yang memanggilku.
“Aira!” Suara yang begitu akrab di telingaku.
Dan benar saja, itu Ryan.
“Apa? Dan dari mana kau tahu aku ada di sini?” Tanyaku dengan nada sinis.
“Dari mana aku tahu itu tak penting.” Kata Ryan. “Aira, aku tahu aku salah tapi kumohon maafkan aku!”
“Bukannya aku tidak mau memafkanmu, tapi aku hanya butuh waktu untuk melupakan rasa sakitku.”
“Aku mengerti. Tapi aku akan berusaha agar kau mau memaafkanku.”
“Terserah.”
Aku pun berlalu meninggalkan Ryan.
Sudah seminggu Ryan berusaha meminta maaf padaku. Awalnya aku tidak peduli tapi karena aku melihat ketulusan di matanya akhirnya aku luluh juga.
“Aira, aku benar-benar minta maaf. Cara apa lagi yang harus kulakukan agar kau mau memaafkanku?”
“Hm… sebenarnya aku sudah memaafkanku. Aku hanya ingin memberi hukuman saja padamu.”
Senyum merekah di wajah Ryan. Lalu dia berkata, “Waktu itu aku memang masih mencintai Sarah tapi di sisi lain aku juga mulai mencintaimu. Kau selalu ada untukku. Awalnya aku memang menjadikanmu sebagai pelampiasan tapi aku selalu bisa merasakan ketulusan dalam dirimu. Kau gadis yang hangat.” Ryan menghela napas. “Maaf kalau selama ini aku menyakitimu.”
“Jadi, sebenarnya hatimu untuk Sarah atau aku?” Tanyaku.
“Tentu saja untukmu.”
“Benarkah? Lalu bagaimana dengan Sarah?”
“Dia telah lama melupakanku. Aku saja yang terlalu menanti harapan kosong. Tapi setelah ada kau semuanya berubah.” Kata Ryan. “Aira, kita mulai hubungan kita dari awal lagi. Kau mau kan?”
Tanpa berpikir panjang aku pun mengangguk mengiyakan. Lalu kulihat senyum Ryan merekah. Manis sekali. Senyum yang akan menjadi sumber inspirasiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar